Oleh: @sam_anindito
Di tengah pesatnya modernisasi yang mengubah hampir setiap aspek kehidupan, beberapa tradisi lisan yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa, terutama di wilayah Mataraman, mulai terkikis. Salah satu tradisi tersebut adalah kebiasaan “Omah Cangkem”, yang merujuk pada kebiasaan berbicara dengan penuh sopan santun dan pertimbangan. Secara harfiah, Omah Cangkem bisa diterjemahkan sebagai “rumah mulut”, yang mencerminkan pentingnya menjaga ucapan seperti menjaga rumah sendiri. Dalam konteks ini, menjaga ucapan bukan hanya untuk menghindari perkataan yang menyinggung orang lain, tetapi juga untuk menunjukkan rasa hormat terhadap sesama. Namun, dengan berkembangnya teknologi dan pergeseran pola komunikasi di era digital, tradisi ini kini semakin terlupakan, terutama di kalangan generasi muda.
Asal Usul dan Filosofi Omah Cangkem dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Mataraman
Omah Cangkem bukanlah sekadar ajaran tentang berbicara, tetapi juga mengandung filosofi hidup yang dalam. Dalam tradisi masyarakat Mataraman, berbicara bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga tentang bagaimana berbicara dengan penuh rasa hormat, kesantunan, dan pertimbangan terhadap orang lain. Sejak dahulu, masyarakat Mataraman diajarkan untuk menjaga ucapan, karena kata-kata yang keluar dari mulut dapat mempengaruhi hubungan sosial dan keharmonisan dalam masyarakat.
Menurut Wibowo dalam bukunya Kearifan Lokal Masyarakat Jawa (2014), tradisi berbicara yang sopan dan penuh pertimbangan dalam masyarakat Jawa, terutama di Mataraman, telah menjadi norma sosial yang dipegang teguh sejak zaman kerajaan Mataram. Budaya ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, dan bahkan mengatur hampir setiap aspek interaksi sosial, mulai dari percakapan di dalam keluarga hingga dalam pertemuan formal seperti musyawarah dan pertemuan desa.
Dalam buku “Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Jawa” oleh Supriyadi (2009), disebutkan bahwa dalam masyarakat Mataraman, berbicara dengan penuh kesopanan adalah bentuk penghargaan terhadap orang lain, terlebih kepada orang yang lebih tua atau memiliki kedudukan tinggi. Omah Cangkem mengajarkan bahwa kata-kata yang keluar dari mulut haruslah dipertimbangkan dengan matang, tidak sembarangan, dan tidak merendahkan orang lain. Nilai ini juga mencerminkan hubungan saling menghormati dan menjaga keharmonisan dalam masyarakat.
Praktik Omah Cangkem dalam Kehidupan Sehari-hari
Tradisi Omah Cangkem diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mataraman melalui cara berbicara yang sangat berhati-hati. Dalam kehidupan sosial, baik itu di rumah, di pasar, atau dalam acara-acara komunitas, masyarakat Mataraman selalu menjaga cara bicara mereka. Bukan hanya dalam konteks percakapan santai, tetapi juga dalam situasi formal seperti musyawarah desa, pertemuan adat, hingga dalam konteks yang lebih sakral seperti upacara keagamaan.
Sebagai contoh, dalam budaya Mataraman, ketika seseorang bertemu dengan orang yang lebih tua atau dihormati, maka dia akan berbicara dengan bahasa yang lebih halus, menggunakan kata-kata yang tidak menyinggung atau merendahkan. Bahkan, dalam percakapan sehari-hari di antara sesama, penggunaan kata-kata yang kasar atau tidak sopan sangat dijaga.
Sri Pujiastuti, seorang peneliti budaya Jawa, menjelaskan dalam bukunya “Etika Berbicara dalam Masyarakat Jawa” (2012), bahwa dalam tradisi Omah Cangkem, pentingnya berbicara dengan penuh rasa hormat dan menggunakan bahasa halus juga tercermin dalam interaksi sehari-hari. Sebagai contoh, dalam situasi seperti meminta bantuan atau memberikan pendapat, masyarakat Mataraman selalu memilih kata-kata yang lembut dan tidak terburu-buru, serta menghindari konfrontasi langsung. Tradisi ini mengajarkan bagaimana berbicara untuk menciptakan rasa saling menghargai dan tidak menyakiti perasaan orang lain.
Perubahan Pola Komunikasi dan Hilangnya Omah Cangkem di Era Modern
Seiring dengan berkembangnya teknologi dan maraknya penggunaan media sosial, kebiasaan berbicara dengan penuh pertimbangan mulai tergerus. Kini, banyak orang, terutama generasi muda, yang lebih memilih berkomunikasi melalui aplikasi pesan singkat dan media sosial, yang seringkali tidak memperhatikan etika berbicara. Di dunia maya, komunikasi sering kali lebih kasar dan tanpa filter, dengan kata-kata yang mudah menyakiti perasaan orang lain.
Fadli, seorang pemuda asal Kediri, mengungkapkan pengalamannya dalam wawancara, “Dulu, saya sering diajarkan untuk berbicara dengan penuh kesopanan, terutama kepada orang yang lebih tua. Tapi sekarang, saya merasa lebih mudah untuk berbicara apa adanya di media sosial tanpa memikirkan efeknya.”
Perubahan pola komunikasi ini, menurut Dr. Rafiq, seorang sosiolog dari Universitas Islam Negeri Malang, telah menyebabkan hilangnya nilai-nilai kesantunan dalam berbicara yang dulu sangat dijunjung tinggi. “Sekarang, masyarakat lebih cenderung berbicara tanpa filter, terutama di platform media sosial. Hal ini membuat nilai Omah Cangkem mulai hilang, padahal berbicara dengan penuh pertimbangan dan kesopanan adalah bagian penting dari keharmonisan sosial,” ujar Dr. Rafiq.
Dalam bukunya “Sosiologi Komunikasi dalam Masyarakat Jawa” (2011), Dr. Rafiq menambahkan bahwa meskipun teknologi membawa banyak kemudahan dalam berkomunikasi, ada dampak negatif berupa pengurangan kualitas interaksi sosial, yang seharusnya dibangun dengan penuh perhatian dan penghargaan terhadap orang lain.
Dampak Hilangnya Omah Cangkem dalam Kehidupan Sosial
Hilangnya kebiasaan Omah Cangkem berpotensi merusak keharmonisan sosial dalam masyarakat. Kata-kata yang tidak dipertimbangkan dengan matang dapat menimbulkan konflik dan salah paham yang merusak hubungan antarindividu. Selain itu, kurangnya rasa hormat terhadap orang lain, terutama yang lebih tua atau yang memiliki kedudukan lebih tinggi, dapat mengurangi rasa persatuan dalam komunitas.
Dalam konteks yang lebih luas, Omah Cangkem yang telah hilang juga mencerminkan berkurangnya nilai-nilai sosial dalam masyarakat Mataraman. Sebagai masyarakat yang mengutamakan kebersamaan dan rasa saling menghargai, perubahan ini menjadi perhatian penting, karena menghilangnya tradisi ini bisa menurunkan kualitas hubungan sosial antarindividu.
Upaya Pelestarian dan Harapan ke Depan
Untuk menjaga agar tradisi Omah Cangkem tidak hilang begitu saja, berbagai langkah perlu diambil. Salah satunya adalah dengan kembali memperkenalkan pentingnya berbicara dengan penuh pertimbangan di kalangan generasi muda. Pendidikan karakter yang mengajarkan pentingnya sopan santun dalam berbicara harus dimulai sejak dini, baik di keluarga maupun di sekolah.
Dr. Taufik Alamin, seorang ahli sosiologi, mengungkapkan pentingnya pendidikan etika berbicara di kurikulum pendidikan formal. “Pendidikan mengenai bagaimana berbicara dengan penuh kesopanan harus diberikan kepada anak-anak sejak dini. Dengan demikian, nilai Omah Cangkem dapat terus terjaga,” ujarnya dalam wawancara.
Selain itu, masyarakat dapat mengorganisir pelatihan dan seminar tentang pentingnya berbicara dengan etika yang baik, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam komunikasi digital. Masyarakat juga harus didorong untuk menggunakan media sosial secara bijak, dengan tetap mengedepankan etika berbicara yang baik.
Kesimpulan
Omah Cangkem adalah bagian penting dari tradisi sosial masyarakat Mataraman yang mengajarkan nilai-nilai kesantunan, saling menghormati, dan menjaga keharmonisan sosial melalui cara berbicara. Meskipun tradisi ini kini mulai tergerus oleh kemajuan teknologi dan pergeseran pola hidup modern, upaya untuk melestarikannya sangatlah penting. Dengan pendidikan yang tepat dan kesadaran bersama, kita dapat menjaga dan melestarikan tradisi Omah Cangkem agar tetap hidup dalam kehidupan masyarakat Mataraman dan menjadi warisan bagi generasi mendatang.